Majelis Tipikor Jatuhi Vonis 13 Tahun Penjara, Syafruddin Terbukti Korupsi SKL BLBI
Majelis Tipikor Jatuhi Vonis 13 Tahun Penjara, Syafruddin Terbukti Korupsi SKL BLBI. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis pidana penjara selama 13 tahun terhadap mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung.
Majelis hakim yang terdiri atas Yanto selaku ketua majelis dengan anggota Diah Siti Basariah, Sunarso, Anwar, dan Suhartono menilai Syafruddin Arsjad Temenggung telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tipikor dalam dua bagian utama untuk kepentingan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Majelis hakim yang terdiri atas Yanto selaku ketua majelis dengan anggota Diah Siti Basariah, Sunarso, Anwar, dan Suhartono menilai Syafruddin Arsjad Temenggung telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tipikor dalam dua bagian utama untuk kepentingan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Pertama, penghapusan utang BDNI sebesar Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijaminkan PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim ke BPPN. Utang tersebut merupakan kredit macet yang diubah statusnya sehingga Sjamsul Nursalim yang merupakan obligor tidak kooperatif menjadi koperatif. Kedua, Syafruddin menerbitkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham (SPKPS) atau Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor Sjamsul Nursalim pada 2004.
Padahal Sjamsul belum menyelesaikan seluruh kewajiban dan hanya membayarkan Rp220 miliar sebagaimana diserahkan ke negara dan dijual melalui PT Perusahaan Pengelola Negara. Akibatnya berdasarkan hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 25 Agustus 2017, negara mengalami kerugian sebesar Rp4,58 triliun. Angka tersebut adalah keuntungan yang diperoleh Sjamsul Nursalim.
Berdasarkan fakta-fakta persidangan baik dari keterangan saksi-saksi, ahli, surat berupa dokumen, petunjuk, hingga keterangan terdakwa, majelis hakim memastikan, perbuatan Syafruddin dilakukan secara melawan hukum dan bersama-sama dengan tiga pihak. Pertama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Gotong-Royong 2001-2004 merangkap Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) saat itu Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Kedua, Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI. Ketiga, Itjih S Nursalim selaku pemegang saham BDNI.
Hakim Yanto menggariskan, majelis hakim secara bulat sepakat menyimpulkan bahwa perbuatan Syafruddin yang dilakukan secara bersama-sama tersebut terbukti melanggar sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana, sebagaimana dalam dakwaan pertama.
Hakim Yanto menggariskan, majelis hakim secara bulat sepakat menyimpulkan bahwa perbuatan Syafruddin yang dilakukan secara bersama-sama tersebut terbukti melanggar sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana, sebagaimana dalam dakwaan pertama.
“Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Syafruddin Arsjad Temenggung dengan pidana penjara selama 13 tahun dan pidana denda Rp700 juta dengan ketentuan bila tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” tegas hakim Yanto saat membacakan amar putusan atas nama Syafruddin, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/9).
Adapun putusan terhadap Syafruddin ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK. Sebelumnya, JPU menuntut Syafruddin dengan pidana selama 15 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Anggota majelis hakim Anwar menuturkan, dalam menjatuhkan putusan majelis hakim mempertimbangkan hal-hal meringankan dan memberatkan. Yang meringankan, Syafruddin berlaku sopan selama persidangan dan belum pernah dihukum. Pertimbangan memberatkan bagi Syafruddin ada tiga. Pertama, perbuatannya bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi. Kedua, korupsi merupakan kejahatan luar biasa. “Terdakwa tidak mengakui perbuatannya,” ujar hakim Anwar.
Sementara Anggota Majelis Hakim Diah Siti Basariah membeberkan, Syafruddin yang pernah menjabat sebagai Sekretaris KKSK sebelum menjadi kepala BPPN mengetahui dan menyadari bahwa ketua atau kepala BPPN tidak diperbolehkan melakukan penghapusbukuan piutang yang tergolong misrepresentasi. Majelis hakim meyakini perbuatan Syafruddin sudah melanggar dan bertentangan dengan sejumlah undang-undang (UU) dan peraturan lain.
Di antaranya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor: X/MPR/2001 yang ditetapkan pada 9 November 2001, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 37 ayat (1) dan (2) huruf c, UU Nomor 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34/1998 tentang Tugas dan Kewenangan BPPN, dan Keputusan Menteri Negera Koordinator Bidan Ekuin selaku Ketua Komite KKSK Nomor: KEP.01.A/M.EKUIN/01/2000 tertanggal 20 Januari 2000 tentang Kebijakan Restrukturisasi dan Penyelesaian Pinjaman bagi Debitur di BPPN.
Selain itu, hakim Diah menggariskan, perbuatan Syafruddin juga telah melanggar representation and guarantee pada Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) yang ditandatangani Sjamsul dengan ketua BPPN. “Sehingga unsur melawan hukum telah terpenuhi dan dapat dibuktikan,” tegas hakim Diah.
Anggota Majelis Hakim Sunarso memaparkan, dalam proses perbuatan pidana tersebut Syafruddin memerintahkan mengembalikan aset utang petambak dari Divisi Litigasi BPPN ke program penjualan Divisi Aset Manajemen Kredit (AMK). Usulan tersebut kemudian diajukan Syafruddin ke KKSK yang dipimpin Dorodjatun dan disetujui oleh Dorodjatun. Keputusan tersebut bertentangan dengan keputusan keputusan KKSK di era Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli.
Berikutnya, Syafruddin juga melakukan dua kali rapat yakni 21 Oktober dan 29 Oktober 2003 dengan dihadiri perwakilan Sjamsul Nursalim yakni Itjih S Nursalim dan Mulyati Gozali. Dalam pertemuan tersebut disimpulkan Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi hanya didasari pernyataan Itjih.
Selain itu hakim Sunarso menggariskan, Syafruddin dan Dorodjatun menghadiri Rapat Kabinter Terbatas (Ratas) yang dipimpin Presiden Megawai Soekarnoputri pada 11 Februari 2004. Dalam Ratas tersebut, Syafruddin mengusulkan penghapusbukuan Rp2,8 triliun tapi tidak melaporkan Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi. Majelis hakim meyakini usulan penghapusan yang disampaikan Syafruddin tidak mendapat persetujuan Presiden. Tetapi setelah itu, Syafruddin tetap menyatakan usulan tersebut sudah disahkan dan mengajukannya ke KKSK yang dipimpin Dorodjatun.
“Dorodjatun menyetujui dan sependapat dengan apa yang disampaikan Syafruddin dengan mengeluarkan keputusan KKSK. Padahal kenyataannya diketahui oleh Syafruddin dan Dorodjatun maupun yang hadir mengetahui Ratas tersebut tidak pernah mengambil kep utusan write off atas porsi utang petambak. Dorojatun yang mencabut dua keputusan KKSK sebelumnya mengakibatkan hilangnya harta BPPN yang harus ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim,” ucap hakim Sunarso.
Syafruddin Mengajukan Banding
Selama menjalani persidangan Syafruddin Arsjad Temenunggu yang mengenakan batik biru bercorak warna emas terlihat serius menyimak pertimbangan putusan. Saat amar dibacakan, Syafruddin terlihat kaget.
Ketua majelis hakim Yanto memberikan kesempatan untuk Syafruddin dan JPU pada KPK menanggapi putusan. JPU memastikan masih pikir-pikir selama tujuh hari. Majelis mempersilakan agar Syafruddin berkonsultasi dengan penasihat hukumnya. Hanya saja Syafruddin menolak berkonsultasi. Dia mengaku sudah sering berkonsultasi dengan tim penasihat hukum.
Atas putusan tersebut, Syafruddin mengakui menghormati putusan. Meski begitu dia menggariskan, yang dia cari adalah keadilan. Karenanya Syafruddin langsung menyatakan perlawanan dengan mengajukan banding. Dia juga meminta tim penasihat hukum yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra segera mendaftarkan banding tersebut.
“Dalam kesempatan ini tidak akan guna untuk konsultasi karena kami sudah sering berkonsultasi. Yang mulia, 1 hari pun saya dihukum, kami akan melawan yang mulia dan kami menolak yang mulia. Dan, kami meminta kepada tim penasihat hukum kami, saat ini juga, setelah selesai ini kami minta untuk segera mendaftarkan untuk kita melakukan banding,” ujar Syafruddin.
Comments
Post a Comment